https://pontianak.times.co.id/
Opini

Hari Pahlawan di Tengah Isu Krisis Lingkungan

Senin, 10 November 2025 - 18:46
Hari Pahlawan di Tengah Isu Krisis Lingkungan M. Agus Muhtadi Bilhaq, Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Islam (FEBI) IAIN Pontianak.

TIMES PONTIANAK, PONTIANAK – Hari Pahlawan yang diperingati setiap 10 November merupakan momen mengenang perjuangan dan pengorbanan para pendahulu (pejuang kemerdekaan). Mereka telah menunaikan tugas sejarahnya untuk merebut dan mempertahankan kemerdekaan Indonesia. 

Tetapi, di tengah arus zaman yang kian berubah, makna hari pahlawan seyogyanya tidak berhenti pada kisah heroik masa lalu. Spirit perjuangan itu perlu diresapi dan dimaknai ulang agar tetap hidup di hati setiap generasi. 

Khususnya di zaman seperti sekarang, tantangan terbesar bangsa bukan lagi perang bersenjata, melainkan perjuangan menghadapi krisis kemanusiaan, termasuk juga kerusakan lingkungan yang kian mengkhawatirkan.

Indonesia kini tengah berada di persimpangan antara pembangunan dan kelestarian. Di satu sisi, kebutuhan ekonomi menuntut pemanfaatan sumber daya alam, namun di sisi lain, kondisi bumi nampak kian rapuh. 

Hal ini tergambar misalnya dari berbagai bencana ekologi yang melanda, timbulan sampah nasional yang mencapai puluhan juta ton per tahun, deforestasi yang tak kunjung berhenti, serta pencemaran udara dan air yang meningkat menunjukkan betapa rapuhnya hubungan manusia dengan alam. 

Banjir, tanah longsor, dan kekeringan kini menjadi pemandangan yang akrab di berbagai daerah. Semua ini menjadi penanda bahwa kita sedang menghadapi krisis yang tidak hanya bersifat ekologis, tetapi juga menyentuh ranah moral bahkan spiritual.

Kerusakan alam sejatinya merupakan cerminan dari merosotnya budi manusia. Dalam pandangan Islam, Al-Qur’an berabad lalu telah mewanti-wanti, “Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan oleh ulah tangan manusia, agar Allah merasakan kepada mereka sebagian akibat perbuatan mereka, supaya mereka kembali ke jalan yang benar” (Q.S. Ar-Rum [30]: 41). 

Ayat tersebut memberi peringatan bahwa hilangnya keseimbangan alam adalah imbas dari hilangnya keseimbangan hati serta kelalaian manusia. Keserakahan, ketamakan, dan ketidakpedulian telah menggantikan rasa syukur dan tanggung jawab. Akibatnya, manusia tidak lagi memandang bumi sebagai amanah, melainkan sekadar objek untuk dikeruk sumber dayanya.

Dalam konteks inilah, semangat kepahlawanan (Hari Pahlawan) perlu dimaknai kembali sebagai perjuangan moral menjaga kehidupan. Pahlawan masa kini bukan lagi mereka yang menumpas penjajah dengan senjata, melainkan mereka yang berjuang melawan ego dan keserakahan yang merusak bumi. 

Berkenaan dengan itu, Rasulullah saw. bersabda, “Tidaklah seorang muslim menanam tanaman atau menabur benih, lalu (hasilnya) dimakan oleh manusia, burung, binatang ternak, melainkan hal tersebut menjadi sedekah baginya” (HR. Tirmidzi). 

Melalui hadis ini, Nabi saw. mengajarkan bahwa setiap tindakan kecil yang membawa manfaat bagi kehidupan adalah bentuk amal kebajikan. Setidaknya, merawat lingkungan, menanam pohon, dan mengurangi sampah adalah wujud nyata dari perjuangan kemanusiaan yang bernilai ibadah.

Kepahlawanan sejati bukan hanya tentang penghargaan, melainkan kesediaan untuk memikul tanggung jawab moral terhadap sesama makhluk. Dalam ajaran Islam, manusia diangkat menjadi pemelihara kehidupan, bukan perusaknya. Setiap tindakan menjaga alam merupakan bagian dari bentuk pengabdian kepada-Nya. 

Dengan demikian, ketika seseorang memilih untuk tidak merusak ekologi di bumi pertiwi–merawat air, merawat hutan, atau bahkan menahan diri dari perilaku konsumtif yang berlebihan, sesungguhnya ia sedang menegakkan nilai-nilai kepahlawanan yang bersumber dari kesadaran spiritual dan moral.

Krisis lingkungan yang dihadapi bangsa ini tidak akan terselesaikan hanya dengan teknologi atau regulasi, melainkan melalui perubahan perilaku dan kesadaran etis. Perlu tumbuh kesadaran baru bahwa mencintai negeri berarti juga mencintai alamnya. 

Semangat kepahlawanan harus menjelma dalam sikap hidup sehari-hari yang berkelanjutan. Menanam satu pohon, memilah sampah rumah tangga, menghemat listrik, atau sekadar mengingatkan orang di sekitar untuk tidak mencemari lingkungan, adalah langkah sederhana yang bermakna besar. Perubahan moral adalah fondasi bagi perubahan sosial, sebab bangsa yang besar lahir dari manusia-manusia yang bermoral dan berkesadaran.

Dengan demikian, peringatan Hari Pahlawan hendaknya tidak hanya menjadi seremoni tahunan, tetapi momentum untuk menumbuhkan kembali rasa tanggung jawab terhadap kehidupan. 

Menjaga bumi sama artinya dengan menjaga warisan para pahlawan, karena alam adalah ruang tempat kemerdekaan itu diwujudkan. Kepahlawanan masa kini adalah keberanian untuk berbuat baik di tengah ketidakpedulian, dan keteguhan menjaga alam di tengah kerakusan dunia. (*)

***

*) Oleh : M. Agus Muhtadi Bilhaq, Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Islam (FEBI) IAIN Pontianak.

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia  untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.

Pewarta : Hainor Rahman
Editor : Hainorrahman
Tags

Berita Terbaru

icon TIMES Pontianak just now

Welcome to TIMES Pontianak

TIMES Pontianak is a PWA ready Mobile UI Kit Template. Great way to start your mobile websites and pwa projects.