https://pontianak.times.co.id/
Opini

Lompatan Iman dan Eksistensi dalam Hari Kurban

Kamis, 05 Juni 2025 - 17:56
Lompatan Iman dan Eksistensi dalam Hari Kurban Ari Yunaldi, Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Islam (FEBI) IAIN Pontianak.

TIMES PONTIANAK, PONTIANAK – Setiap datangnya hari raya Idul Adha, kita dihadapkan pada kisah agung tentang pengorbanan Nabi Ibrahim. Sebagai sebuah cerita yang begitu sering didengar, namun terlalu jarang untuk direnungkan secara mendalam. 

Banyaknya pertanyaan-pertanyaan dibenak kita semua sebagai seorang muslim, seperti hal berikut ini: Bagaimana mungkin seorang ayah tega menyembelih anaknya sendiri demi menaati perintah Tuhan? Apakah ini soal ketaatan semata? Atau justru di situlah letak keberanian eksistensial seorang manusia dalam menghadapi misteri iman?

Soren Kierkegaard merupakan seseorang filsafat ulung menjadi salah satu yang menyoroti kisah ini dengan cara berbeda. Baginya, Ibrahim bukan sekadar nabi atau simbol kepatuhan. 

Ia adalah sosok “knight of faith”, kesatria iman, manusia yang berani melampaui logika dan hukum moral demi sesuatu yang lebih tinggi: kebenaran ilahi. Ia melakukan apa yang secara etis tidak bisa diterima, namun secara spiritual merupakan puncak dari iman seseorang.

Judul buku Fear and Trembling, karangan Kierkegaard menjelaskan bahwa keputusan Ibrahim untuk menaati perintah Tuhan merupakan bentuk tertinggi dari eksistensi manusia.

Di sinilah letak yang disebut sebagai “lompatan iman” tindakan yang dilakukan bukan karena dapat dimengerti, melainkan karena keyakinan yang melampaui nalar. 

Ibrahim tidak tahu bahwa pada akhirnya Tuhan akan mengganti Ismail dengan seekor domba. Ia hanya tahu bahwa Tuhan meminta, dan ia siap menyerahkan segalanya. Inilah titik tertinggi dari eksistensi: keberanian mengambil risiko spiritual tanpa jaminan apa pun selain kepercayaan.

Kisah itu bukan hanya untuk dikenang, tapi untuk dijalani. Hari Kurban bukan tentang kambing dan sapi. Allah Swt sendiri menegaskan dalam Al-Quran bahwa bukan darah atau daging yang sampai kepada-Nya, melainkan ketakwaan dari para pelakunya. 

Maka, kurban adalah simbol dari pelepasan ego. Kita ditantang untuk mengorbankan bukan hanya hewan, tetapi juga hawa nafsu, gengsi, rasa takut, dan keterikatan pada hal-hal duniawi yang sering kali kita sembah dalam diam-diam.

Banyak juga muncul berbagai pertanya lain yang ada pada manusia itu sendiri, seperti: Apa yang kita kurbankan hari ini? Bagi sebagian orang, mungkin bentuknya adalah kesediaan untuk jujur meski menyakitkan. Bagi yang lain, mungkin berupa keikhlasan memberi walau dalam kekurangan. 

Bisa juga berupa keberanian untuk mencintai tanpa syarat, atau melepaskan sesuatu yang sangat dicintai demi jalan yang lebih benar. Kurban bukan soal besar atau kecilnya tindakan, tetapi seberapa dalam kita menghadirkan nama Allah Swt dalam pilihan-pilihan itu.

Kisah Nabi Ibrahim juga mengajarkan bahwa iman bukan jalan yang datar dan mudah. Ia dipenuhi keraguan, perjuangan batin, dan kadang kesepian. Tapi di situlah makna sejati iman: hadir tanpa syarat, memilih tanpa jaminan, dan setia walau tidak selalu mengerti. 

Maka, dalam semangat kurban, kita diingatkan kembali pada hakikat menjadi manusia, makhluk yang sadar akan dirinya, sekaligus sadar akan keterbatasannya di hadapan yang Maha Mutlak.

Idul Adha bukan sekadar seremonial tahunan. Ia adalah panggilan untuk melompat, seperti Nabi Ibrahim. Melompat bukan ke jurang irasionalitas, tetapi ke ruang di mana iman dan eksistensi bertemu. 

Di situlah manusia menemukan dirinya: bukan sebagai pemilik dunia, tapi sebagai peziarah yang setia pada Allah Swt meski tidak tahu persis arah akhir perjalanan.

Menjadi “Ibrahim” di masa kini mungkin berarti menolak kompromi dalam kejujuran, tetap memberi saat dunia mengajarkan mengambil, atau memilih sunyi ketika keramaian penuh kepalsuan. Dan itu tidak mudah. Tapi justru di sanalah letak maknanya.

Pada akhirnya, Hari Kurban adalah napak tilas. Kita menapak jejak Nabi Ibrahim, bukan untuk menjadi dia, tetapi untuk belajar darinya: tentang bagaimana menjadi manusia yang berani, tulus, dan total dalam beriman. (*)

***

*) Oleh : Ari Yunaldi, Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Islam (FEBI) IAIN Pontianak.

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id

*) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.

Pewarta : Hainor Rahman
Editor : Hainorrahman
Tags

Berita Terbaru

icon TIMES Pontianak just now

Welcome to TIMES Pontianak

TIMES Pontianak is a PWA ready Mobile UI Kit Template. Great way to start your mobile websites and pwa projects.