Kopi TIMES

Memaknai “Duduk sama Rendah, Berdiri sama Tinggi” dalam Keberagaman

Senin, 08 Maret 2021 - 16:24
Memaknai “Duduk sama Rendah, Berdiri sama Tinggi” dalam Keberagaman Filasafia Marsya M, Mahasiswa Magister Ilmu Hubungan Internasional Universitas Gadjah Mada.

TIMES PONTIANAK, YOGYAKARTA – Pada faktanya, Indonesia memiliki lebih dari 1.300 suku bangsa yang tersebar pada lebih dari 17.000 pulau. Berangkat dari keberagaman tersebut, telah terdapat berbagai upaya dari para founding fathers untuk menanamkan fondasi yang kuat guna membawa kompleksitas keberagaman agar dapat hidup berdampingan dalam situasi yang damai, salah satunya melalui Pancasila.

Kendati Indonesia memiliki potensi untuk menjadi bangsa yang kuat, ancaman perdamaian seperti disintegrasi dan kekerasan tetap membayangi kehidupan bermasyarakat. Hal itu karena mempertemukan berbagai suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA) untuk hidup berdampingan dalam satu kerangka berpikir selalu menjadi tantangan tersendiri bagi pihak-pihak yang terlibat di dalamnya. Dengan kata lain, belum ada hal yang dapat menjamin Indonesia untuk terus berada dalam situasi damai, khususnya dalam konteks keberagaman.

Terbukti, di tahun 2020, posisi Indonesia anjlok enam peringkat pada Global Peace Index 2020 yang didasarkan pada 23 indikator, termasuk tindak kriminal, militerisasi sipil, akses senjata, instabilitas politik, intensitas konflik internal yang terorganisir, jumlah korban jiwa dalam konflik domestik dan internasional.

Data mencatat bahwa kondisi perdamaian di Indonesia memburuk akibat lonjakan angka konflik internal dan jumlah kematian yang diakibatkan oleh konflik internal. Secara garis besar, konflik internal yang terjadi dapat berupa kekerasan langsung, kekerasan kultural, ataupun kekerasan struktural yang sama-sama menciptakan kesenjangan antargolongan yang menyangkut SARA, gender, orientasi seksual, status warga negara, disabilitas, atau kelas sosial.

Sejatinya, terdapat berbagai tantangan untuk menciptakan perdamaian di Indonesia, salah satunya terkait isu yang sering menghantui relasi antargolongan di Indonesia, yaitu superioritas dan sentimen yang mengarah pada aksi intoleran. Terlebih dalam beberapa waktu terakhir, kelindan politik identitas dan sentimen keagamaan banyak mendukung praktik-praktik intoleransi yang mengatasnamakan agama.

Maka dari itu, tulisan ini mengulas lebih jauh bagaimana intoleransi menjadi tantangan terbesar dalam penciptaan perdamaian dan urgensi toleransi dalam keberagaman yang berimplikasi pada upaya untuk eskalasi konflik dan menciptakan perdamaian.

Superioritas Golongan dan Intoleransi

Pada dasarnya, kelompok mayoritas dengan segala kemampuannya berpotensi untuk melakukan tindakan pengucilan terhadap kaum minoritas yang memiliki kepercayaan atau keyakinan berbeda dengan pandangan arus utama. Hal tersebut dilakukan dengan tujuan untuk membuat kaum minoritas merasa terintimidasi, tersingkir, dan terpaksa menerima dominasi kaum mayoritas. Dampaknya, praktik superioritas golongan ini sangat berimplikasi terhadap kerukunan antargolongan. Tidak hanya itu, superioritas golongan akan menutup ruang toleransi dan memperuncing kesenjangan antargolongan dalam situasi keberagaman. Dengan kata lain, hal tersebut akan bermuara pada kemunculan aksi-aksi intoleran yang diakibatkan oleh tidak adanya keinginan untuk menerima kelompok lain yang tidak sejalan.

Lebih lanjut, intoleransi melahirkan relasi dalam keberagaman yang timpang karena terus melanggengkan diskriminasi kelompok mayoritas-minoritas. Bagai api dalam sekam, superioritas golongan dan intoleransi akan menjadi bahaya yang dapat terjadi setiap waktu. Tampak luar, Indonesia dengan kemajemukannya terlihat sebagai negara bangsa yang kuat. Akan tetapi, kondisi dan suasana di dalamnya tidak lagi nyaman karena acapkali diwarnai dengan konflik dan kekerasan yang diakibatkan oleh aksi-aksi intoleran.

Intoleransi yang dimaksudkan dalam hal ini tidak sekadar menyangkut perbedaan keyakinan dan teologis, tetapi juga menyangkut kesenjangan dan perbedaan-perbedaan lain yang lebih luas. Intoleransi dapat mengakibatkan seseorang merasa bahwa agama yang dianut adalah yang paling benar, suku bangsa yang dijunjung adalah yang paling baik, pendapat yang diyakini adalah yang paling masuk akal dibandingkan milik orang lain.

Apabila dikaitkan dengan tulisan milik salah satu akademisi perdamaian di Indonesia, Dr. Samsu Rizal Panggabean, dalam bukunya yang berjudul “Konflik dan Perdamaian Etnis di Indonesia”, kekerasan antaragama terbukti telah menyebabkan kematian paling besar di Indonesia, diikuti kekerasan antarsuku. Melalui berbagai kasus yang pernah terjadi di Indonesia, dapat dicermati bahwa konflik antaragama di Indonesia dapat disebabkan oleh berbagai macam persoalan, seperti perebutan jabatan, migrasi dan transmigrasi yang mengakibatkan ketimpangan jumlah antargolongan, ketidakadilan politik, dan adanya justifikasi terhadap perbedaan keyakinan teologis. Akibatnya, polarisasi yang terjadi di masyarakat justru semakin kuat sehingga mendorong kemunculan sentimen, kecurigaan, dan kebencian antargolongan.

“Duduk sama Rendah, Berdiri sama Tinggi”: Fondasi Toleransi

Dengan kondisi Indonesia yang memiliki keberagaman SARA, hubungan kehidupan sosial-keagamaan idealnya bertumpu pada keberagamaan inter-subjektif yang mengedepankan toleransi, rasa saling memahami, berempati, dan mengutamakan inklusivitas dalam menyikapi perbedaan. Pemaknaan “duduk sama rendah, berdiri sama tinggi” dapat menjadi fondasi untuk hidup berdampingan dalam keberagaman yang menggambarkan kondisi yang adil dan setara.

Terkait dengan hal ini, upaya untuk meminimalisir superioritas golongan diperlukan agar masyarakat mendapatkan perlakuan yang sama dan menyadari bahwa masing-masing memiliki kesempatan yang sama untuk mendapatkan hak dan melaksanakan kewajiban. Lebih jauh, pemaknaan “duduk sama rendah, berdiri sama tinggi” dapat menghasilkan ruang bagi terciptanya diskursus keberagaman yang baik dan dilandasi spirit integrasi sosial.

Dalam kaitannya untuk mengembangkan pemaknaan “duduk sama rendah, berdiri sama tinggi”, setidaknya terdapat empat langkah yang dapat diterapkan. Pertama, mengintensifkan inklusivitas dalam hidup berdampingan yang dapat berimplikasi pada proses penerimaan berbagai bentuk perbedaan dan keberagaman serta mengakomodasikan ke dalam tatanan atau infrastruktur yang ada di masyarakat.

Dengan begitu, polarisasi masyarakat dapat dicegah agar tidak melahirkan sentimen-sentimen politik dan kebencian. Kedua, mengakomodasi perbedaan dengan belajar berkomunikasi agar lebih dapat diterima dan belajar menerima perbedaan yang dimiliki oleh kelompok lain. Langkah tersebut dapat diperkuat dengan mengembangkan pandangan kosmopolitan yang meyakini bahwa semua manusia setara dan memiliki standar nilai moral dan etika yang sama, meskipun berasal dari suku, etnis, agama, ras, dan budaya yang berbeda. Ketiga, mewujudkan keadilan yang berdampak luas, bukan hanya milik golongan tertentu saja.

Tanpa keadilan, kehidupan dalam keberagaman akan terus diwarnai dengan kesenjangan dan kecemburuan sosial yang kemudian dapat menjadi faktor pemicu munculnya tindakan intoleran bahkan kekerasan. Terakhir yang tak kalah penting, masyarakat seyogianya dapat terus mengampanyekan toleransi dalam keberagaman. Meski terdengar normatif, mengampanyekan toleransi tetap dibutuhkan, terutama di tengah menguatnya sentimen kecurigaan dan kebencian antaragama seperti yang terjadi di Indonesia akhir-akhir ini. Dengan mengembangkan pemaknaan “duduk sama rendah, berdiri sama tinggi” dalam fondasi toleransi, diharapkan keberagaman dalam hubungan sosial-keagamaan di Indonesia dapat berjalan tanpa dibumbui intoleransi yang menjurus pada kekerasan struktural yang dapat melanggengkan bentuk-bentuk kekerasan lain.

***

*)Oleh: Filasafia Marsya M, Mahasiswa Magister Ilmu Hubungan Internasional Universitas Gadjah Mada.

*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

*) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.

Pewarta :
Editor : Wahyu Nurdiyanto
Tags

Berita Terbaru

icon TIMES Pontianak just now

Welcome to TIMES Pontianak

TIMES Pontianak is a PWA ready Mobile UI Kit Template. Great way to start your mobile websites and pwa projects.