Kopi TIMES

Perempuan Berpendidikan Tinggi, Sebuah Ancaman?

Senin, 08 Februari 2021 - 19:30
Perempuan Berpendidikan Tinggi, Sebuah Ancaman? Shabrina Salsabila, Mahasiswi Pendidikan Guru Madrasah Ibtidaiyah di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.

TIMES PONTIANAK, YOGYAKARTA – Apakah Anda pernah mendengar seseorang mengatakan “untuk apa perempuan sekolah tinggi-tinggi? Toh, akhir-akhirnya juga jadi ibu rumah tangga.”

Ya, kalimat semacam itu sering sekali kita dengar di tengah perbincangan antar teman, tetangga, kerabat, bahkan orang tua. Perempuan yang berpendidikan tinggi dianggap tidak akan berguna di kehidupan masa mendatang. “Membuang-buang waktu. Lebih baik memasak dan beres-beres saja di rumah,” begitu katanya.

Apalagi ditambah dengan kekhawatiran para kaum lelaki yang takut apabila perempuan berpendidikan tinggi, maka suatu hari nanti akan menyaingi hasil pendapatan dari perkejaannya, “Kalo nanti perempuan berpendidikan tinggi lebih dari aku dan dia mendapat pekerjaan yang pendapatannya lebih dari aku juga gimana? Kesannya agak gimana gitu.”

Dalam Konvensi mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan (CEDAW) yang ditandatangani pada tahun 1979 oleh Komisi Kedudukan Perempuan PBB disebutkan bahwa terdapat lima hak utama perempuan yaitu hak dalam ketenagakerjaan, hak dalam bidang kesehatan, hak dalam memperoleh pendidikan yang sama, hak dalam perkawinan dan keluarga, dan hak dalam kehidupan publik dan politik. RA Kartini dalam salah satu poin perjuangannya mengungkapkan setiap perempuan berhak untuk mendapatkan kesempatan mengikuti pendidikan dari tingkat dasar hingga universitas. Ya, tentu saja semua perempuan berhak berpendidikan tinggi dan meraih impian.

Penulis pernah mengira bahwa pemikiran tentang ‘Perempuan yang Memiliki Pendidikan Tinggi Dianggap sebagai Ancaman’ itu hanya berlaku pada masyarakat di masa-masa lampau. Tapi ternyata, sampai masa sekarang pun, pernyataan tentang hal tersebut masih tertanam di mindset masyarakat. 

Seperti pengalaman saya saat berkunjung ke rumah kerabat di daerah Nusa Tenggara Timur. Ketika berbincang-bincang mengenai pendidikan dan universitas, tiba-tiba kerabat saya mengatakan, "untuk apa sih sekolah tinggi-tinggi? Nanti kan juga nikah jadi ibu rumah tangga."

Hal serupa juga pernah dialami oleh teman sekolah saya. Ia mengatakan bahwa seorang gurunya juga mengungkapkan hal serupa. Bahkan, teman dekat saya pun pernah mengatakan kalimat yang sama dan menganggap bahwa perempuan yang berpendidkan tinggi merupakan sebuah ancaman. 

"Gini ya...Kamu itu kan perempuan, ngapain coba sekolah tinggi-tinggi sampai S2. Eh, terus berakhir jadi ibu rumah tangga ngurus anak di rumah. Emang nanti suamimu gak ngerasa gimana-gimana gitu nanti pas tau kalo istrinya ternyata lebih punya pendapatan besar."

Menurut saya, mindset orang-orang yang mengutarakan bahwa 'perempuan yang mengemban ilmu terlalu tinggi tidaklah berguna' memang perlu kita ubah. Apalagi yang menganggapnya sebagai sebuah ancaman. Perempuan yang berpendidikan tinggi seharusnya tidak perlu dipermasalahkan hanya karena perbedaan pemerolehan hasil pendapatan antara suami dan istri. Coba kita lihat dari pandangan yang berbeda.

Bahkan perempuan yang menjadi seorang ibu rumah tangga pun juga perlu berpendidikan. Semakin tinggi seorang perempuan memperoleh pendidikan, maka akan semakin baik pula ia menjadi sosok ibu panutan. Siapa yang tidak ingin memiliki pasangan sebagai ibu yang baik?

Memang benar, bahwa orang tua adalah sekolah pertama bagi anak-anak mereka dan mengurus anak bukanlah hal yang mudah. Tentunya, sosok ibu akan menjadi pusat ilmu di dalam keluarga. Peran ibu rumah tangga bukan hanya sekedar memasak, mencuci, dan beres-beres rumah.

Mereka juga berperan menjadi seorang guru, psikolog, bahkan motivator untuk anak-anaknya kelak. Tidak hanya kecerdasan dalam bidang ilmu pengetahuan, seorang ibu juga perlu memiliki kecerdasan emosional. Semakin ia mendapatkan banyak ilmu, maka akan semakin luas wawasan dan pandangannya. Semakin bijak, semakin mampu mendampingi seorang anak tumbuh dewasa dengan baik. Jadi, masihkah Anda memiliki pandangan bahwa perempuan berpendidikan tinggi adalah sebuah ancaman?

***

*)Oleh: Shabrina Salsabila, Mahasiswi Pendidikan Guru Madrasah Ibtidaiyah di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.

*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

*) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.

Pewarta :
Editor : Faizal R Arief
Tags

Berita Terbaru

icon TIMES Pontianak just now

Welcome to TIMES Pontianak

TIMES Pontianak is a PWA ready Mobile UI Kit Template. Great way to start your mobile websites and pwa projects.