TIMES PONTIANAK, PONTIANAK – Pada bulan Mei 2025 lalu, Deputi Bidang Teknologi Informasi Penanaman Modal BKPM, Ricky Kusmayadi, menyebutan bahwa ekonomi digital Indonesia diproyeksikan akan melonjak hingga USD 360 miliar pada tahun 2030 dengan kontribusi ekonomi digital terhadap PDB sebesar sekitar 11%.
Namun, di tengah potensi besar ini, rasio pajak terhadap PDB Indonesia pada 2024 justru masih rendah, yakni hanya 10,07%. Raihan tersebut jauh di bawah rerata ASEAN yang mencapai 14% hingga 15%.
Realitas ini harus menjadi bahan refleksi mendalam bagi bangsa kita untuk kembali melakukan transformasi fundamental secara komprehensif dengan memanfaatkan teknologi guna memperkuat penerimaan negara di era digital.
Sejarah menunjukkan bahwa Indonesia pernah melakukan reformasi pajak besar pada tahun 1983 dengan menerapkan sistem self-assessment yang menggantikan sistem official assessment sebelumnya. Reformasi ini bertujuan mendorong wajib pajak lebih mandiri, tetapi dalam praktiknya kepatuhan masih lemah karena keterbatasan data dan sistem pengawasan.
Kemudian, pada awal 2000-an, Direktorat Jenderal Pajak memperkenalkan e-filing sebagai langkah digitalisasi, diikuti dengan penguatan infrastruktur perpajakan melalui amnesti pajak pada 2016. Namun meski ada perbaikan, rasio pajak tetap stagnan di kisaran 10 hingga 12 persen selama lebih dari satu dekade.
Bagimana dengan sekarang? Keberadaan teknologi seperti blockchain, big data, dan AI dapat menjadi pilar baru transformatif dalam memperkuat penerimaan negara di era digital. Blockchain menawarkan potensi dalam meningkatkan transparansi dan akuntabilitas sistem perpajakan. Teknologi ini memungkinkan rekam jejak transaksi yang immutable dan dapat diaudit secara real time, sehingga kemungkinan manipulasi atau penyembunyian pajak mampu ditekan.
Hal tersebut diperkuat dengan hasil penelitian tahun 2020 yang dilakukan oleh Milla dkk dengan judul “Blockchain Technology Application for Value-Added Tax Systems” yang menunjukkan bahwa blockchain dapat diterapkan pada sistem e-Invoice untuk PPN, meningkatkan kepercayaan dan efisiensi administrasi. Dengan begitu, pemerintah bisa mempersempit celah kebocoran dan memperkuat basis pajak digital.
Sementara itu, big data memungkinkan analisis perilaku ekonomi maupun transaksi secara masif dan mendalam. Dengan integrasi data dari e-commerce, fintech, dan sistem pemerintah seperti SIPP, regime perpajakan bisa menjadi lebih responsif dan berbasis risiko.
Saat ini, penerimaan dari sektor digital telah mencakup VAT PMSE, pajak crypto, fintech, dan SIPP yang jumlahnya terus tumbuh. Big data dapat menjadi fondasi untuk deteksi dini kebocoran pajak dan optimasi target pajak, terutama di sektor nonformal dan ekonomi digital.
AI melengkapi dengan kemampuan menganalisis pola, mendeteksi anomali, dan otomatisasi proses pajak secara pintar. Pemerintah Indonesia sendiri menyadari potensi AI dalam sistem perpajakan, terutama dalam mendeteksi anomali finansial untuk meningkatkan efisiensi dan kepatuhan pajak.
Sejalan dengan itu, studi dengan judul Evolving Tax Compliance in the Digital Era: a Comparative Analysis of AI-Driven Models and Blockchain Technology in U.S Tax Administration menunjukkan bahwa AI dan blockchain secara signifikan meningkatkan kepatuhan pajak dan efisiensi administrasi, meski juga menimbulkan tantangan seperti privasi dan kebutuhan regulasi yang kuat.
Oleh karena itu, implementasi AI harus dilengkapi kerangka regulasi yang mumpuni agar tidak menimbulkan efek negatif terhadap data pribadi atau integritas sistem.
Tantangan Infrastruktur dan Sistem Inti Pajak
Permasalahan utama saat ini adalah kerapuhan sistem inti pajak dan gangguan dalam implementasinya. Misalnya, peluncuran sistem “core tax” baru oleh DJP pada Januari 2025 sempat mengalami gangguan teknis, crash, dan mismatch data yang mengganggu operasi bisnis dan kepercayaan publik.
Padahal, sistem ini dirancang untuk mendorong modernisasi administrasi pajak dengan memanfaatkan data amnesti pajak sebelumnya. Keberhasilan adopsi blockchain, big data, dan AI sangat bergantung pada stabilitas, keamanan, dan interoperabilitas sistem inti tersebut.
Pengalaman internasional juga memberikan pelajaran penting bagi Indonesia. Estonia misalnya telah menerapkan sistem perpajakan digital berbasis blockchain sejak awal 2000-an, yang memungkinkan transaksi publik diaudit secara terbuka tanpa mengorbankan privasi.
India melalui reformasi Goods and Services Tax (GST) berhasil meningkatkan efisiensi pajak dengan mengintegrasikan data transaksi nasional secara digital. Dari contoh ini, terlihat bahwa kombinasi teknologi dan keberanian politik mampu memperbaiki basis penerimaan negara secara signifikan.
Dukungan kebijakan dan infrastruktur juga menjadi tantangan tersendiri. Misalnya, pemerintah sedang menyusun roadmap AI dan bahkan mempertimbangkan pembentukan sovereign AI fund untuk mendorong pengembangan AI domestik antara tahun 2027 sampai 2029.
Di sektor ekonomi digital, penerimaan dari pajak e-commerce naik signifikan dengan regulasi penarikan PPN dan Pajak Penghasilan secara otomatis oleh platform, memperlihatkan arah reformasi yang sedang berjalan. Semua ini menjadi indikasi bahwa pemerintah telah membuka peluang untuk integrasi teknologi modern dalam sistem perpajakan.
Namun, adopsi teknologi tanpa kesiapan talenta dan infrastruktur bisa menimbulkan ketimpangan. Indonesia masih menghadapi keterbatasan dalam infrastruktur digital dan tenaga ahli AI, bahkan dalam roadmap nasional AI yang segera dirilis pun diakui bahwa Indonesia masih di tahap awal adopsi AI.
Tanpa upaya memperkuat SDM dan infrastruktur, potensi blockchain maupun AI dalam perpajakan tidak akan maksimal. Oleh karena itu, pemerintah perlu memperkuat kolaborasi dengan sektor teknologi dan pendidikan dalam membangun kapasitas lokal.
Solusi Bertahap
Solusi konkret dapat dimulai dengan pilot project blockchain untuk penerapan e-Invoice PPN dan rekam transaksi P2P. Hal ini dapat diuji dalam skala terbatas pada sektor tertentu seperti e-commerce atau P2P lending.
Selanjutnya, integrasi big data perlu diperluas dengan menggabungkan data PMSE, fintech, SIPP, serta data transaksi pemerintahan dan nonformalnya secara real time. Penerapan AI harus dimulai dari modul deteksi anomali dan pemeringkatan risiko otomatis, diiringi dengan pelatihan internal DJP dan insentif bagi akademisi dan startup dalam membangun solusi AI fiskal.
Dalam jangka menengah, DJP juga bisa bermitra dengan lembaga akademis dan konsultan seperti EY untuk merancang model tax analytics dengan big data dan automasi berbasis AI. Dorongan kebijakan seperti AI fund dan roadmap AI nasional akan memperkuat ekosistem teknologi fiskal. Dengan demikian, penerimaan negara dari sektor digital bisa mengalami peningkatan signifikan tanpa mengorbankan keadilan dan transparansi.
Jika diimplementasikan dengan baik, kombinasi blockchain, big data, dan AI bisa menjadikan penerimaan negara Indonesia lebih adaptif, inklusif, dan berkelanjutan menuju tahun 2030. Dengan fondasi teknologi yang kuat, basis pajak bisa diperluas ke sektor informal dan digital, menopang pembangunan ekonomi dan sosial secara lebih merata.
Sistem fiskal semacam ini juga akan memperkuat kepercayaan publik melalui transparansi dan layanan publik yang lebih responsif. Inilah pilar baru yang layak menjadi tonggak transformasi fiskal Indonesia di era digital. (*)
***
*) Oleh : Kristoforus Bagas Romualdi, M.Pd., Dosen Pendidikan Sejarah Universitas Tanjungpura.
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.
Pewarta | : Hainor Rahman |
Editor | : Hainorrahman |